Senin, 22 September 2008

Remaja Islam adalah Remaja Dakwah

Dakwah? Hmm.. kok kayaknya berat banget kedengarannya ya? Lho, emangnya kenapa? Sebagian teman remaja biasanya denger atau ngucapin kata dakwah terasa sangat berat. Telinga pekak en lidah kelu dan yang terbayang di benaknya pasti urusannya dengan jenggot, kopiah, baju koko, sarung, dan jilbab. Well. Nggak salah-salah amat sih. Cuma nggak lengkap penilaiannya.

Lagian juga terkesan adanya pemisahan antara dakwah dan kehidupan umum, gitu lho. Kesannya kalo dakwah adalah bagiannya mereka yang ada di kalangan pesantren atau anak-anak ngaji aja. Anak-anak nongkrong sih nggak tepat kalo berurusan dengan dakwah. Dakwah kesannya jadi tugas mereka yang hobinya dengerin lagu-lagu nasyid macam Demi Masa-nya Raihan. Bukan tugas anak-anak yang hobinya dengerin lagu-lagu pop macam Terima Kasih Cinta-nya Afgan. Halah, itu salah banget, Bro. Nggak gitu deh seharusnya. Sumpah.

Gini nih, sebenarnya urusan dakwah atau tugas dakwah jadi tanggung jawab bersama seluruh kaum muslimin. Cuma, karena tugas dakwah ini cukup berat dan nggak semua orang bisa tahan menunaikannya, jadinya dakwah secara tidak langsung diserahkan kepada mereka yang ngerti aja. Anggapan seperti ini insya Allah nggak salah. Cuma, kalo dengan alasan seperti ini lalu kaum muslimin yang belum ngerti atau masih awam tentang Islam jadi bebas untuk nggak berdakwah, atau nggak mau terjun dalam dakwah, itu tentu salah, Bro. Why? Karena tetap aja punya kewajiban untuk belajar. Tetap punya kewajiban mencari ilmu. Jadi, nggak bisa bebas juga kan? Malah kalo nekat nggak mau belajar dan nggak mencari ilmu, hal itu dinilai berdosa, man! Bener.

Baginda kita, Rasulullah Muhammad saw. bahkan menyatakan bahwa aktivitas belajar dan mencari ilmu adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dari buaian ibu hingga ke liang lahat. Kalo mencari ilmu itu adalah wajib, berarti bagi yang nggak mencari ilmu selama hidupnya, jelas berdosa dong. Allah Swt. bahkan menjamin orang-orang yang beriman dan berilmu akan diberikan derajat lebih tinggi dibanding orang yang nggak berilmu (apalagi nggak beriman). Firman Allah Swt.:

“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Muj?dalah [58]: 11)

Bro, emang bener banget. Urusan dakwah ini sangat erat hubungannya dengan tingkat keilmuan. Dakwah itu jelas membutuhkan ilmu. Jadi, betul kalo dikatakan bahwa tugas berdakwah hanya diberikan kepada mereka yang udah menguasai ilmu agama. Tapi, buat kita yang belum menguasai ilmu agama secara mantap bukan berarti nggak ada kewajiban dakwah. Sebab, rasa-rasanya untuk ukuran sekarang nih, nggak mungkin banget ada kaum muslimin yang nggak ngerti sama sekali tentang Islam. Pasti deh, satu keterangan atau dua keterangan dalam ajaran agama Islam sudah pernah didengarnya dan menjadi pengetahuannya. So, sebenarnya tetap punya kewajiban nyampein dakwah meskipun cuma sedikit yang diketahui. Kalo pengen lebih banyak tahu tentang Islam, ya tentu saja kudu belajar lagi dan mencari ilmu lagi. Sederhana banget kan solusinya? Insya Allah kamu pasti bisa ngejalaninya, asal kamu mau. Yakin deh.

Mengapa dakwah itu wajib?

Jawabnya gini, sebab Islam adalah agama dakwah. Salah satu inti dari ajaran Islam memang perintah kepada umatnya untuk berdakwah, yakni mengajak manusia kepada jalan Allah (tauhid) dengan hikmah (hujjah atau argumen). Kepedulian terhadap dakwah jugalah yang menjadi trademark seorang mukmin. Artinya, orang mukmin yang cuek-bebek sama dakwah berarti bukan mukmin sejati. Bener, lho. Apa iya kamu tega kalo ada teman kamu yang berbuat maksiat kamu diemin aja? Nggak mungkin banget kan kalo ada temen yang sedang berada di bibir jurang dan hampir jatuh, nggak kamu tolongin. Iya nggak sih?

Boys and gals, bahkan Allah memuji aktivitas dakwah ini sebagai aktivitas yang mulia, lho. FirmanNya:

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim” (QS Fushshilat [41]: 33)

Dalam ayat lain Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk berdakwah. Seperti dalam firmanNya:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl [16]: 125)

Menyeru kepada yang ma’ruf (kebaikan) dan mencegah dari perbuatan munkar merupakan identitas seorang muslim. Itu sebabnya, Islam begitu dinamis. Buktinya, mampu mencapai hingga sepertiga dunia. Itu artinya, hampir seluruh penghuni daratan di dunia ini pernah hidup bersama Islam. Kamu tahu, ketika kita belajar ilmu bumi, disebutkan bahwa dunia ini terdiri dari sepertiga daratan dan dua pertiga lautan. Wah, hebat juga ya para pendahulu kita? Betul, sebab mereka memiliki semangat yang tinggi untuk menegakkan kalimat “tauhid” di bumi ini. Sesuai dengan seruan Allah (yang artinya): “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.” (QS al-Baqarah [2]: 193)

Kini, di jaman yang udah jauh berubah ketimbang di “jaman onta”, arus informasi makin sulit dikontrol. Internet misalnya, telah mampu memberikan nuansa budaya baru. Kecepatan informasi yang disampaikannya ibarat pisau bermata dua. Bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Celakanya, ternyata kita kudu ngurut dada lama-lama, bahwa kenyataan yang harus kita hadapi dan rasakan adalah lunturnya nilai-nilai ajaran Islam di kalangan kaum muslimin. Tentu ini akibat informasi rusak yang telah meracuni pikiran dan perasaan kita. Utamanya remaja muslim. Kita bisa saksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa banyak teman remaja yang tergoda dengan beragam rayuan maut peradaban Barat seperti seks bebas, narkoba, dan beragam kriminalitas. Walhasil, amburadul deh!

Itu sebabnya, sekarang pun dakwah menjadi sarana sekaligus senjata untuk membendung arus budaya rusak yang akan menggerus kepribadian Islam kita. Kita lawan propaganda mereka dengan proganda kembali. Perang pemikiran dan perang kebudayaan ini hanya bisa dilawan dengan pemikiran dan budaya Islam. Yup, kita memang selalu “ditakdirkan” untuk melawan kebatilan dan kejahatan.

Sobat muda muslim, Islam membutuhkan tenaga, harta, dan bahkan nyawa kita untuk menegakkan agama Allah ini. Dengan aktivitas dakwah yang kita lakukan, maka kerusakan yang tengah berlangsung ini masih mungkin untuk dihentikan, bahkan kita mampu untuk membangun kembali kemuliaan ajaran Islam dan mengokohkannya. Tentu, semua ini bergantung kepada partisipasi kita dalam dakwah ini.

Coba, apa kamu nggak risih dengan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja? Apa kamu nggak merasa was-was dengan tingkat kriminalitas pelajar yang makin tinggi? Apa kamu nggak kesel ngeliat tingkah remaja yang hidupnya nggak dilandasi dengan ajaran Islam? Seharusnya masalah-masalah model beginilah yang menjadi perhatian kita siang dan malam. Beban yang seharusnya bisa mengambil jatah porsi makan kita, beban yang seharusnya menggerogoti waktu istirahat kita, dan beban yang senantiasa membuat pikiran dan perasaan kita nggak tenang kalo belum berbuat untuk menyadarkan kaum muslimin yang lalai.

Untuk ke arah sana, tentu membutuhkan kerjasama yang solid di antara kita. Sebab, kita menyadari bahwa kita bukanlah manusia super yang bisa melakukan aksi menumpas kejahatan hanya dengan seorang diri. Kalo kita ingin cepat membereskan berbagai persoalan tentu butuh kerjasama yang apik, solid dan fokus pada masalah. Pemikiran dan perasaan di antara kita kudu disatukan dengan ikatan akidah Islam yang lurus dan benar. Kita harus satu persepsi, bahwa Islam harus tegak di muka bumi ini. Kita harus memiliki cita-cita, bahwa Islam harus menjadi nomor satu di dunia untuk mengalahkan segala bentuk kekufuran. Itulah di antaranya kenapa kita wajib berdakwah, Bro. Semoga kamu paham.

Dakwah itu tanda cinta

Bro en Sis, seharusnya kita menyambut baik orang-orang yang mau meluangkan waktu dan mengorbankan tenaganya untuk dakwah menyampaikan kebenaran Islam. Sebab, melalui merekalah kita jadi banyak tahu tentang Islam. Kita secara tidak langsung diselamatkan oleh seruan mereka yang awalnya kita rasakan sebagai bentuk ?kecerewetan’ mereka yang berani ngatur-ngatur urusan orang lain. Padahal, justru itu tanda cinta dari sesama kaum muslimin yang nggak ingin melihat saudaranya menderita gara-gara nggak kenal Islam dan nggak taat sama syariatnya.

Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan keadaan suatu kaum atau masyarakat yang menjaga batasan hukum-hukum Allah (mencegah kemungkaran) adalah ibarat satu rombongan yang naik sebuah kapal. Lalu mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Dan bila ada orang yang di bagian bawah akan mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di bagian atasnya. Sehingga orang yang di bawah tadi berkata: “Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri (untuk mendapatkan air), tentu aku tidak mengganggu orang lain di atas.” Bila mereka (para penumpang lain) membiarkannya, tentu mereka semua akan binasa.” (HR Bukhari)

Sobat, dakwah adalah darah dan napas kehidupan Islam. Itu sebabnya, kita yang masih remaja pun dituntut untuk mampu tampil sebagai pengemban dakwah yang handal. Kita khawatir banget, seandainya di dunia ini nggak ada orang-orang yang menyerukan dakwah Islam, bagaimana masa depan kehidupan umat manusia nanti? Jangan sampe Islam dan umat ini hanya tinggal “kenangan”. Yuk, kita kaji Islam biar mantap dan semangat mendakwahkannya.

oleh:sebastyankhalfa

Tanggapan dari Kritikan tentang konsep khilafah

Menjawab Kritikan Terhadap Konsep Khilafah

Seperti yang ditulis oleh Ahmad Fuad Fanani dalam Kompas (Sabtu, 26 Februari 2005), kritik yang dilontarkan terhadap sistem Khilafah Islam adalah bahwa sistem ini merupakan sistem yang tirani. Secara umum ada dua alasan mendasar kenapa tuduhan seperti ini muncul : pertama sistem ini menganut kedaulatan di tangan Tuhan dan kedua dalam sistem ini tidak ada trias politika (pembagian kekuasaan). Saudara Ahmad Fanani tampaknya telah menggunakan argumentasi penolakan terhadap sistem teokrasi yang pernah berkembang di Barat di abad kegelapan untuk menolak sistem Khilafah. Justru disinilah letak kekeliruan sdr Ahmad Fuad Fanani yang mendasar, menyamakan sistem Khilafah dengan sistem teokrasi, padahal keduanya sangat berbeda.

Sistem teokrasi yang pernah diterapkan di Eropa pada masa kegelapan dianggap sebagai sistem terani yang membawa bencana bagi manusia. Para kritikus yang sekaligus pemikir saat itu melihat pangkal persoalannya karena sistem teokrasi menyerahkan kedaulatan di tangan Tuhan. Sementara raja dianggap wakil Tuhan di muka bumi. Artinya, kata-kata , keputusan, kebijakan, dan aturan yang ditetapkan oleh Raja adalah otomatis merupakan kata-kata Tuhan. Karena kata-kata Tuhan , maka keputusan raja tidak pernah keliru. Muncul-lah slogan yang populer pada saat itu “King can do no wrong” , Raja tidak pernah keliru. Hal tentu saja menutup pintu kritik karena raja selalu menganggap dirinya benar. Ketiadaan kritik inilah yang kemudian membuat raja berpeluang besar menjadi tirani, karena kebijakan yang dia ambil selalu dianggap benar.

Persoalan kedua yang dianggap pangkal bencana sistem ini adalah ketiadaan pembagian kekuasaan (seperation of power). Pada diri raja terdapat tiga kekuasaan sekaligus, membuat hukum (legislatif), menjalankan hukum atau pemerintahan (eksekutif) dan sekaligus fungsi pengadilan (yudikatif). Kekuasaan absolut yang dimiliki oleh raja ini kemudian membuat dirinya menjadi diktator tunggal. Analisis yang sama tampaknya digunakan oleh Ahmad Fanani untuk menyoroti sistem Khilafah. Tulisan ini akan membatasi pada dua perkara diatas.

Sistem Khilafah sangat berbeda dengan sistem teokrasi yang pernah berkembang di abad kegelapan Eropa. Syekh Taqiyuddin an Nabhani pendiri Hizbut Tahrir dalam kitabnya Nidhomul hukmi fi al Islam (sistem pemerintah Islam) memberikan gambaran yang jernih tentang perbedaan ini.Sistem Khilafah yang merupakan sistem Islam membedakan antara kedaulatan (as-siayadah) dan kekuasaan (al sultan). As Siyadah (kedaulatan) memang ditangan syar’i (pembuat hukum , Allah SWT) , namun kekuasaan (al sultan ) ditangan rakyat. Berbicara tentang kedaulatan (as siyadah) berarti berhubungan dengan siapa yang berhak membuat hukum atau siapa yang menjadi sumber hukum (source of legislation). Dalam Islam yang menjadi sumber hukum adalah syari’ yakni Allah SWT yang kemudian menurunkan Al Qur’an dan as Sunnah sebagai sumber hukum yang wajib diikuti oleh kaum muslimin. Karena itu kata-kata, kebijakan, atau aturan yang ditetapkan oleh Khalifah bukanlah otomatis kata-kata Tuhan yang kemudian mutlak harus dipatuhi dan tidak boleh dikritik. Rosullah saw sendiri mengatakan : “tiada ketaatan kepada manusia dalam maksiat kapada Allah swt”. Karena itu, Khalifah saat mengambil keputusan tetap harus merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah. Artinya, keputusan Khalifah baru boleh ditaati kalau itu memang merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah. Kalau tidak, ya tidak boleh ditaati. Karena itulah dalam Islam ada kewajiban mengkoreksi penguasa (khalifah ) yang dikenal dengan konsep muhasabah lil hukkam. Bahkan Islam menempatkan derajat yang tinggi bagi aktifitas untuk mengkoreksi penguasa ini. Dalam hadits disebutkan : “ Sebaik-baik jihad adalah melontarkan kata-kata yang hak di depan penguasa yang jair/dholim (kejam)”. Mereka yang harus terbunuh karena mengkoreksi penguasa yang keliru bahkan diberi gelar saiyudusyuhada (pemimpin para syahid).

Adanya kewajiban untuk mengkoreksi penguasa (Khalifah ) yang keliru ini justru menunjukkan adanya peluang Khalifah untuk berbuat salah sekaligus menunjukkan kata-kata Khalifah tidak otomatis benar. Sehingga anggapan Khalifah tidak boleh dikritik adalah keliru. Inipulah yang membedakan dengan sistem teokrasi, dimana kata-kata raja dianggap otomatis kata-kata Tuhan.

Sementara berbicara tentang kekuasaan (al Sultan) berarti berbicara tentang siapa yang menjadi sumber kekuasaan (source of legislation) yang berhak untuk memilih dan mengangkat penguasa Khalifah . Dalam sistem Islam yang berhak memilih dan mengangkat Khalifah adalah rakyat. Karena itu rakyatlah yang berhak memilih Khalifah secara berdasarkan pilihannya dan keridhoannya (ikhtiar wa ridho). Hal ini jelas berbeda dengan sistem sistem teokrasi, dimana raja bukan dipilih oleh rakyat tapi diwariskan.

Bagaimana dengan pemisahan kekuasaan ? Ketiadaan pemisahan kekuasaan memang menjadi tirani, dikarenakan raja menganggap dirinya wakil Tuhan di yang memiliki semua wewenang. Artinya Rajalah yang menentukan segalanya. Sementara dalam sistem Khilafah Islam, yang menjadi sumber hukum adalah syari’ yakni merujuk kepada al Qur’an dan Sunnah. Sementara Khalifah diberikan wewenang untuk mengadopsi (tabbani) sebuah kebijakan, namun tetap merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah. Rakyat berhak mengkritiknya kalau dia menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah. Dan jelas khalifah sebagai kepala negara memiliki kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan (fungsi eksekutif).

Khalifah juga memiliki wewenang sebagai qodhi (hakim) , meskipun dia berhak menunjukkan orang lain sebagai qodhi (hakim). Namun tetap saja dalam menetapkan sebuah keputusan pengadilan Khalifah harus merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah , bukan dirinya sendiri. Ini akan menutup peluang baginya untuk membuat kebijakan yang tiran, karena standarnya jelas yakni al Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian meskipun pada khalifah ada dua kewenangan eksekutif dan yudikatif, namun peluang untuk menjadi tirani menjadi kecil karena sumber hukum bukan pada dia tapi hukum syara’ dan adanya kewajiban untuk mengkritik Khalifah kalau keliru. Contoh nyata tentang ini adalah bagaimana Ali bin Abi Thalib saat menjadi Khalifah harus tunduk kepada pengadilan yang telah memutuskankan bahwa gugatannya kepada seorang Yahudi tidak terbukti. Seorang Yahudi ini digugat oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan tuduhan telah mencuri baju perangnya . Tapi karena Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak bisa memberikan pembuktian yang kuat , maka gugatannya ditolak dan yahudi ini dibebaskan . Yahudi ini kemudian masuk Islam karena kagum akan pengadilan Islam yang obyektif.

Kritik lain yang sering dilontarkan kepada sistem Khilafah adalah tidak adanya mekanisme kritik dan pertanggungjawaban. Hal ini juga menunjukkan ketidakmengertian tentang sistem Khilafah. Kalau ada kewajiban mengkritik penguasa jelas sebagai sebuah sistem politik yang praktis Islam juga memberikan mekanisme kritik ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rosulullah saw dan sahabat-sahabatnya. Mekanisme yang pertama, koreksi bisa dilakukan secara individual atau kelompok (partai politik). Rosulullah saw sendiri pernah dikritik oleh sahabat-sahabatnya berkaitan dengan kebijakannya dalam perjanjian Hudaibiyah, Abu Bakar r.a saat menjadi Khalifah pernah secara langsung dikritik oleh Umar bin Khottob dalam kebijakannya memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Umar bin Khattob menerima secara lapang dada kritikan seorang wanita di depan umum berkaitan dengan mahar perkawinan.

Mekanisme ke dua lewat wakil rakyat (majelis ummah) yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai representasi kelompok-kelompok masyarakat. Anggota majelis ummah ini berhak secara langsung mengajukan kritik, masukan, kepada Khalifah berkaitan dengan kebijakan-kebijakannya yang tidak menguntungkan rakyat. Mekanime ketiga, rakyat yang tidak puas akan kebijakan Khalifah bisa mengajukannya ke Mahkamah Madzholim, pengadilan yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa (khalifah ). Tentu saja Khalifah harus tunduk kepada keputusan mahkamah ini. Muncul pula pertanyaan, bagaimana kalau Khalifah tidak mau mendengar kritik rakyatnya dan tidak pula mau mentaati keputusan mahkamah ini ? Rakyat boleh turun tangan secara langsung untuk menjatuhkan Khalifah karena tidak taat kepada aturan Allah swt. Bahkan kalau penyimpangan Khalifah sampai pada batas yang menunjukkan penentangannya secara nyata terhadap hukum-hukum Islam, rakyat boleh angkat senjata (menggunakan kekerasan) untuk menjatuhkan Khalifah . Inilah yang pernah ditanyakan para sahabat kepada Rosulullah, apakah rakyat boleh angkat senjata (mengangkat pedang), Rosul memberikan batasan boleh memang khalifah tersebut telah menunjukkan kekufuran yang nyata.

Jadi jelaslah bahwa ada mekanisme bagaimana cara mengkoreksi penguasa. Namun, memang harus diakui pelaksanaan syariah Islam ini dalam kenyataannya tidaklah berjalan selalu mulus. Karena pemerintahan Khilafah adalah pemerintahan manusiawi, yang dijalankan oleh manusia yang mungkin keliru atau menyimpang. Karena itu, dalam menetapkan bagaimana sistem khilafah berjalan, bukanlah berdasarkan kepada penyimpangan praktek sistem ini, tapi haruslah merujuk kepada sumber hukumnya yakni al Quran dan Sunnah. Sistem politik apapun, selama masih dijalankan oleh manusia sangat mungkin menyimpang. Demikian juga dengan sistem khilafah. Karena itulah dalam islam ada mekanisme kewajiban mengkritik agar penguasa ini tidak menyimpang. Menyimpulkan bagaimana sistem khilafah berdasarkan penyimpangan pelaksanannya jelas menyebabkan kekeliruan dalam melihat bagaimana sistem Khilafah ini.