Senin, 06 Oktober 2008

Hizbut Tahrir Indonesia dan PKS bersatu


Bersatunya’ PKS dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) disambut baik kalangan ormas Islam. “Upaya membangun kebersamaan ummat, adalah modal penting perjuangan.”

”Hidayatullah.com--Komunike bersana dua organisasi Islam Indonesia, Partai Keadilan Sejahterah (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) disambut hangat beberapa ormas Islam. Pasalnya, selain berita itu sebagai kabar gembira atas semakin hangatnya semangat persaudaraan, berita itu juga sebagai awal dimulainya hubungan baru yang lebih harmonis dan menjauhkan perselisihan yang akan menimbulkan friksi antar kedua kelompok.

Sekretaris Jenderal Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Hussein Umar mengaku gembira mendengar kabar ‘bersatunya’ dua gerakan Islam yang cukup populer di indonesia ini. Menurut Hussein, upaya membangun kebersamaan ummat, adalah modal penting perjuangan. “Setiap upaya umat untuk membangun ukhuwah dan islakhul ummah merupakan saat modal penting dalam berjuang dan berdakwah, “ujarnya pada Hidayatullah.com. “Apalagi kita sedang menghadapi agenda besar negara-negara maju yang terus memecah belah ummat Islam di seluruh dunia dengan modal dan berbagai cara, amat mustahil bila kita justru sibuk berdebat wacana yang berakibat menimbulkan friksi.”

Senada dengan Hussein, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Hidayatullah, Ust. H. Abdurahman mengaku gembira mendengar kabar ‘bersatunya’ dua insitusi politik Islam di negeri ini. “Berita itu sangat bagus sekali dan kami sangat mendukungnya. Hidayatullah berharap, siapapun saja, yang punya komintmen menegakakan semangan Laa Ilaaha Illallah di negeri ini, memang harus segera menyatu dan menanggalkan berbedaan, “ ujarnya. Lebih lanjut, Abdurrahman berharap, semua elemen Islam harus terus menggalang kekuatan dan potensi dengan bersilaturahmi dengan memulai antar pemimpin kelompok. Sebab menurutnya, efek gerakan itu akan sangat luar biasa bila para pemimpin ormas dan intitusi itu telah menunjukkan I’tikad baik dengan duduk bersama dan berkomitkan untuk terus melanjutkan hubungan yang lebih harmonis.

“Kita harus terus mengadakan silaturahmi dan memulai duduk bersama, terutama dimulai dari para pemimpin institusi. Selasa (25/5), dua institusi gerakan Islam, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bertemu kantor PKS Jalan Mampang Prapatan No 98, Jakarta guna melakukan komunike bersama antar kedua organisasi. Dalam komunike bersama itu, PKS dan HTI sepaham untuk meningkatkan kualitas ukhuwah Islamiyah dengan berbagai kelompok umat. Selain itu, perbedaan-perbedaan yang selama ini sering terjadi di lapangan. Selanjutnya, Kedua belah pihak sepakat untuk memperkuat persaudaraan Islam, dan kesepakatan bersama untuk menghindari diri dari arah perpecahan dan perselisihan kedua belah pihak. ”Komunike ini merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya untuk menghindari salah persepsi atau friksi di lapangan,” ujar Wakil Ketua Umum II PKS Almuzammil Yusuf seperti dikutip situs resmi PKS, http://pk-sejahtera.org.

”Dalam ushul fiqih ada kaidah Syaddu Daro’I yang berarti menahan diri untuk tidak menyampaikan sesuatu karena dikhawatirkan akan membawa kemudharatan yang lebih besar,” ujar Wakil Ketua Umum I PKS, Surahman Hidayat.

Hizbut Tahrir lahir pada tahun 1953 di Al Quds Palestina, dibidani Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, seorang ulama dan mantan hakim di Mahkamah Syari’ah di Palestina. Hizbut Tahrir menetapkan diri sebagai gerakan yang concern pada perjuangan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah. Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an bersamaan dengan aktifis Tarbiyah yang kemudian mendirikan partai politik, Partai Keadilan (PK) di tahun 1999. Selain berkembang di Indonesia, Hizbut Tahrirjuga berkembang ke seluruh penjuru dunia. Misalnya, Afrika, Mesir, Libia, Sudan, Aljazair, Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya hingga ke AS. Termasuk Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia,dan Australia.

Sebagaimana diketahui, HTI dan Tarbiyah merupakan dua institusi dakwah yang lahir dan tumbuh dari kampus. Kesamaan visi dan pandangan yang sesungguhnya sama sering mengalami benturan-benturan kecil di lapisan bawah hanya karena masalah komunikasi dan perbedaan-perbedaan sudut pandang yang tidak terlalu penting. Tarbiyah yang semula berdakwah di kampus kemudian memilih jalan demokrasi dan melahirkan partai politik Partai Keadilan (PK) di tahun 1999. Sementara HTI memilih berjuang di luar parlemen dengan menganggap partai politik dan demokrasi adalah sesuatu yang masih subhat (meragukan). Perbedaan kecil inilah yang kemudian banyak menjadi pemicu friksi kedua kadernya di bawah. “Tugas umat Islam ke depan sangat berat. Kita menghadapi tekanan di sana-sini, termasuk tekanan dari AS, masa dengan visi yang sama, pondasi yang sama, ladang dakwah yang juga sama bahkan menghadapi musuh yang sama pula, kok menjaga ukhuwah dan kerukunan antar saudara seiman saja gak bisa, ya tidak mungkin lah, “ ujar Jubir HTI, Ismail Yusanto pada Hidayatullah.com.

Minggu, 05 Oktober 2008

Pentingnya Politik Pemuda terhadap masa depan bangsa

Istilah pemuda atau generasi muda umumnya dipakai sebagai konsep untuk memberi generalisasi golongan masyarakat yang berada pada usia paling dinamis, yang membedakan dari kelompok umur anak-anak dan golongan tua. Menurut budayawan Taufik Abdullah, pemuda bukan cuma fenomena demografis, akan tetapi juga sebuah gejala historis, ideologis, dan juga kultural. (Pemuda dan Perubahan Sosial, LP3ES, 1987).

Dalam setiap episode transisi politik, peran pemuda-terutama para pemuda “elite” selalu terlibat di dalamnya. Mereka adalah generasi terpelajar - mahasiswa, profesional, akademisi, dan para aktivis pada umumnya - yang berasal dari kalangan menengah, tinggal di kota besar, memiliki kepekaan sosial dan empati politik yang tinggi.

Dalam konteks sejarah Indonesia, secara periodikal peran mereka dapat dibagi dalam angkatan 08, 28, 45, 66, 74, 80-an, hingga 90-an. Secara ideologis, mereka adalah golongan yang kritis adaptif serta sanggup melahirkan ide-ide baru yang dibutuhkan masyarakatnya. Sementara secara kultural, mereka adalah produk sistem nilai yang mengalami proses pembentukan kesadaran dan pematangan identitas dirinya sebagai aktor penting perubahan.

Sebagai golongan elite masyarakat, dalam banyak kasus, peran kaum muda amat menentukan arah kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca, atau Michel (1982), mereka adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan peran sentral dalam menentukan opini dan keputusan mayoritas. Pada gilirannya, kaum elite itulah yang mengontrol berbagai akses atas sumber daya ekonomi dan politik negara.

Jika pemuda angkatan 08 berhasil memupuk bibit nasionalisme, pemuda angkatan 28 sukses menggalang ideologi persatuan nasional. Sedangkan pemuda angkatan 45 sanggup mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Untuk angkatan 66, 74, 80, hingga 98-an bisa dikatakan hanya mampu memerankan dirinya sebatas kekuatan korektif.

Pasca kekuasaan Orde Lama, politik nasional praktis berada di bawah kendali elite militer, khususnya angkatan darat. Pemuda 66 yang masuk dalam arena kekuasaan perannya tak lebih sebatas “penyuplai ide”, sementara mereka yang memilih berada di luar lingkar kekuasaan berfungsi tak lebih sebagai “pengritik” negara.

Pasca tumbangnya Orde Baru, selain melengserkan Soeharto dan membuka katup demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar yang bisa dilakukan pemuda dan gerakan mahasiswa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu kendala utama dalam menuntaskan agenda reformasi adalah sulitnya mencari sosok muda tampil mengimbangi peran elite mapan produkkepemimpinan politik Orde Baru.

Terhambatnya regenerasi kepemimpinan politik pemuda yang bisa berdiri sejajar dengan sosok mapan seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri atau Jusuf Kalla diperkirakan masih akan terus berlangsung hingga pemilu 2009. Elite Indonesia pascareformasi, sepertinya tengah mengalami pergeseran entitas, dari elite berbasis militer-politisi-birokrat ke elite berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur.

Faktanya, jumlah mahasiswa dan geliat gerakan mahasiswa mengalami booming pada dekade 70-an, yang perannya tumbuh dan mengait kuat dengan dunia politik. Hal itu berpengaruh signifikan pada tampilnya kembali sosok politik pemuda. Pascakampus, para mantan aktivis mahasiswa aktif dalam organisasi kepemudaan, partai politik, LSM, perguruan tinggi, pers, dan dunia bisnis.

Kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama mantan aktivis berlatar profesional-entrepreneur untuk duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun, tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik.

Penyebabnya adalah, tren politik nasional diwarnai secara kental oleh kegiatan ekonomi pasar. Pasar telah menjadi arena political game baru, yang mempenetrasi wilayah politik dan perilaku para aktornya. Tren politik berbasis pasar (industri politik) juga tumbuh seiring dengan sikap elite politikyang kian arogan, parokial, dan partitokrat (perilaku partai yang suka “merampas” kedaulatan rakyat).

Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif.

Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi. Persoalannya kemudian, bagaimana menjamin proses transisi politik dari generasi tua ke generasi muda tidak kembali terjebak pada model regenerasi elitis, pragmatis, subjektif, dan fragmentatif?

Pertama, kaum muda harus berani merombak watak budaya politik “banalisme” yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Kedua, memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan legislatif sebagai arena perjuangan kepentingan rakyat. Ketiga, mendorong birokrasi yang bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan (good corporate governance). Keempat, mengefektifkan struktur kekuasaan yang mampu menjamin bekerjanya fungsi check and balance di antaralembaga-lembaga negara. Kelima, menumbuhkan etika dan etos berbisnis yang sehat, agar para entrepreneur yang menjadi pejabat publik tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat baru bagi proses “akumulasi kapital”.

Ke depan, kiprah pemuda berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur akan makin banyak masuk dalam kekuasaan. Kekhawatiran atas kiprah mereka amat wajar, mengingat iklim perselingkuhan “uang dan kekuasaan” yang dilakoni jenis elite “penguasa-pengusaha” itu kini tengah mendominasi wacana dan praktik politik mutakhir di Indonesia.

Pemuda sejatinya bisa menjawab tantangan dan kebutuhan zamannya, yaitu menuntaskan agenda reformasi yang terus tertunda. Seperti kata Max Weber, pemuda tak boleh menjadi ekor sejarah, yang gagal menunaikan peran historisnya